Seorang anak sedang memberikan gincu kepada ibunya (FOTO: Viva.co.id) |
JIKA di Amerika Serikat dan Kanada dikenal dengan Mothers Day, maka di Indonesia kita mengenalnya dengan Hari lbu.
Pertanyaannya kemudian, apa yang melatar belakangi sehingga dikatakan Hari Ibu dan mengapa tidak dikatakan saja Hari Perempuan?
Momentum apa yang menjadi tanda peringatan Hari lbu yang dirayakan setiap tanggal 22 Desember ini?
Dikutip dari Suara Tangerang edisi II tahun 2007, Hari Ibu ini pertama kali ditetapkan oleh Ir. Soekarno, presiden pertama RI.
Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember ini sebagai Hari lbu. Ini berdasarkan Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959.
Lantas apa kaitannya antara perempuan dengan peringatan Hari lbu tersebut atau apakah karena semata-mata ibu itu berjenis kelamin perempuan?
Untuk menjawabnya, kita harus kembali merefleksi Iewat goresan tinta sejarah perjalanan bangsa ini.
Pada 22 Desember 1928, sekelompok perempuan yang terdiri atas 30 organisasi perempuan dari latar belakang politik, suku, status sosial dan bahkan agama yang tersebar dari 12 Kota yang tersebar di Jawa dan Sumatra berkumpul di Yogyakarta.
Mereka berkumpul untuk menyelenggarakan kongres pertama guna memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan.
Hadir dalam kongres tersebut diantaranya, Aisyah, Perempuan Katolik, Putri Indonesia, Jong Java Bagian Perempuan, Jong lslamieten Bond Bagian Perempuan, dan Organisasi perempun Oetomo.
Kongres tersebut berhasil merumuskan berapa rekomendasi dan tuntutan.
Pertama, kaum perempuan menuntut kepada pemerintah kolonialis tentang pemberian beasiswa kapada anak-anak perempuan dan sekolah-sekolah perempuan.
Kedua, penolakan tradisi parkawinan anak perempuan di bawah umur termasuk kawin paksa.
Ketiga, pemberlakuan syarat-syarat pelaksanaan perceraian yang tidak merugikan hidup kaum perempuan.
Keempat, pemberian bantuan khusus bagi perempuan janda dan anak yatim.
Kelima, menyepakati berdirinya badan musyawarah bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dengan misi pokok untuk menjalin hubungan diantara semua perhimpunan perempuan.
Termasuk di dalamnya kesepakatan menyelenggarakan kongres perempuan tahunan dalam rangka mengisi dan memelihara kelangsungan perjuangan.
Deklarasi itu merupakan puncak kebangkitan kesadaran perempuan Indonesia saat itu.
Dalam rangka menghimpun kekuatan bersama untuk bisa keluar dari berbagai ketertinggalan yang dihadapinya.
Dalam arti lain, kaum perempuan Indonesia saat itu ternyata telah berani menyuarakan arti pentingnya kesetaraan dan keadilan gender.
Faktor ini menjadi penting karena konteks sosial budaya masyarakat Indonesia saat itu masih kental dengan nama feodalisme.
Sehingga konstruksi sosial yang dibangun lebih mengmamakan laki-Iaki atau dalam istilah sering disebut patriarkis. Dari dua hal ini kemudian berkembang menjadi isu gender.
Menurut Ida Royda, sosiolog Universitas Indonesia, penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu erat kaitanya dengan kongres perempuan pertama di Indonesia yang diselenggarakan pada 22 Desember I928.
Karena peserta kongres tersebut sebagian besar adalah kaum ibu maka ditetapkanlah hari itu sebagai hari ibu yang hingga kini telah berusia 79 tahun.
Selamat Hari lbu!
Sumber referensi:
Artikel ini pernah diterbitkan dalam tabloid Suara Tangerang pada edisi II, tahun 2007 halaman 35 pada kolom Jas Merah berjudul Mengapa Dikatakan Hari Ibu Bukan Hari Perempuan?
Originally posted 2020-01-10 06:27:00.
Nasyrah rumi adalah salah seorang kreator konten yang saat ini terus aktif menulis. Selengkapnya lihat di https://twitter.com/nasyrahanrumi