Banyak Menolak Rapid Test karena Takut Diisolasi
unplash/engin akyurt

Menolak Rapid Test karena Takut Diisolasi, Wajarkah?

Diposting pada

Banyak menolak Rapid Test karena takut diisolasi. Penolakan ini sangat menggelitik dan menarik.

Tetapi, satu sisi tentunya ini sangat disayangkan. Sebab, kita tidak bisa mengetahui lebih awal bahwa seseorang tersebut terpapar virus corona atau Covid-19 bila dokter atau tenaga medis tak melakukan rapid test ini.

Pertanyaan yang pastinya meluncur, kenapa? Ya, kenapa sebagian besar warga menolak?

Berbagai spekulasi jawaban pun bermunculan dari warga yang menolak rapid test tersebut.

Jawaban mereka rata-rata mengatakan bahwa menolak rapid test itu wajar. Karena tak akurat. Tak perlu. Itu bahaya. Sebab, penyakit kita yang lainnya juga ikut terdeteksi padahal itu bukan Covid-19.

Terlebih, mereka mengaku kondisi kesehatan mereka baik-baik saja. Sehat.

Pertanyaannya kemudian, apakah benar menolak rapid test itu karena tidak akurat dalam mendeteksi seseorang terpapar virus corona?

Iya. Itu sudah benar. Rapid test tidak bisa mendeteksi virus yang sudah mematikan ribuan manusia di belahan dunia ini.

Dan iya. Benar. Jika Rapid Test itu tidak bisa mendeteksi semua penyakit yang ada dalam tubuh kita.

Kenapa bisa begitu menolak rapid test?

Sejumlah pakar sudah saya tanya. Beberapa diantaranya adalah direktur rumah sakit umum daerah (RSUD). Misalnya RSUD Andi Makkasau dan RSUD Pinrang, Sulawesi Selatan.

Jawaban kedua direktur ini rata-rata sama. Kebetulan, sebagai seorang kuli tinta (saya lebih suka istilah ini), tentunya harus mendapatkan jawaban dari sumbernya langsung atau pakarnya langsung.

Mungkin tak elok saya sebutkan namanya, sebab ini hanyalah catatan lepas saja. Keduanya, mengatakan kurang seperti ini:

Bahwa, sebenarnya Rapid test itu adalah metode skrining awal atau alat yang dipakai untuk mendeteksi kondisi kesehatan kita. Utamanya antibodi kita apakah dalam kondisinya baik atau lemah.

Pada kondisi lemah di tengah mewabahnya virus corona atau Covid-19 ini harus diwaspadai. Jadi jika itu ditemukan harus dikategorikan dalam istilah “reaktif”.

Karena “reaktif”. Maka tahap selanjutnya si-orang tersebut diminta agar waspada. Menjaga kondisi tubuhnya.

Namun, karena sekarang wabah virus corona maka tentunya semua orang harus waspada. Ketakutan terbesar yah tentunya jangan sampai orang tersebut memang benar terpapar Covid-19.

Apalagi seorang tenaga medis yang memang sudah ditugaskan untuk terus memantau jangan sampai virus mematikan ini terus menjalar ke mana-mana.

Makanya, jika ditemukan seseorang dalam kondisi “reaktif”, maka mau tak mau memang harus segera diamankan.

Jangan sampai menulari orang di sekitarnya. Langkah ini sebenarnya demi kebaikan kita bersama. Sayang ini sering disalah artikan.

Nah, dari kondisi reaktif inilah maka langkah selanjutnya yang dilakukan oleh tenaga medis adalah melakukan uji swab.

Dalam uji swab ini tentunya butuh waktu lama. Paling cepat sepekan.

Maka dari inilah, sebenarnya banyak orang orang menolak rapid tes. Yah, itu tadi karena mereka harus dikarantina.

Sampai kapan? Sampai hasil swab mereka atau lendir air liur mereka dinyatakan tidak positif terpapar Covid-19.

Berapa lama? Sepekan. Jadi Anda harus dikarantina dulu.

Nah, persoalan berikutnya adalah dimana kita dikarantina?

Ini yang sebenarnya menjadi akar persolan. Sebab karantinanya harus di rumah sakit atau di tempat yang sudah disiapkan oleh pemerintah setempat.

Mereka harus menjalani skema kehidupan bersih dan terjaga demi meningkatkan imun tubuhnya.

Hanya saja, persolannya tidak sesederhana itu. Apalagi kita ini adalah seorang pekerja. Seorang yang menjadi tulang punggung rumah tangga.

Kalau dikarantina lantas siapa yang harus kerja. Dimana kita akan mendapatkan uang. Mau makan apa keluarga kita.

Disinilah akar persoalan utamanya. Wajar kalau orang yang mau dirapid test menolak. Yah, karena itu tadi. Harus karantina itu. Sepekan pula.

Andai kata kehidupan mereka dijamin mungkin itu tak jadi soal. Hanya saja, dari sekian orang yang sudah menjalani karantina ini rata-rata tak merasakan hal itu.

Sebutlah, misalnya seperti ini. Si-A dikarantina. Lalu keluarganya dijamin. Terus si A dijamin tiap hari dibayar Rp50 ribu per hari.

Artinya kalau dikarantina dalam sepakan dia akan dibayar Rp350 ribu. Atau jika perlu sesuaikan saja berapa pendapatan harian si A.

Misalnya, dia bisa dapatkan rupiah dalam seharinya Rp100 ribu. Lalu dikarantina 7 hari. Jadi dalam sepekan dia harus diberikan uang Rp700 ribu.

Nah, langkah ini hampir bisa dipastikan mereka tak bakal lagi takut untuk menjalani rapid test. Apalagi menolak rapid test. Saya jamin itu. Hehe…

Kesimpulan terakhir.

Jadi, rapid test itu sebenarnya pemeriksaan awal atau skrining yang fungsinya untuk mendiagnosa seseorang itu benar terinfeksi virus Corona atau COVID-19.

Tes yang dapat memastikan seseorang terpapar atau positif terinfeksi Covid-19 sejauh ini hanyalah pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).

Gambar Gravatar
Nasyrah rumi adalah salah seorang kreator konten yang saat ini terus aktif menulis. Selengkapnya lihat di https://twitter.com/nasyrahanrumi